
batampos – Kualifikasi Piala Dunia 2026 menghadirkan pemandangan yang dulu nyaris tak terbayangkan. Jerman, salah satu kekuatan tradisional sepak bola dunia, kini berada di tepi jurang kegagalan.
Kekalahan mengejutkan 0–2 dari Slovakia bulan lalu membuat tim asuhan Julian Nagelsmann harus menatap dua laga berikutnya, ketika melawan Luksemburg dan Irlandia Utara sebagai misi hidup dan mati.
Bagi publik Jerman, kalimat “Piala Dunia tanpa Die Mannschaft” adalah sesuatu yang tabu. Namun realitas sepak bola modern menuntut lebih dari sekadar nama besar.
“Semua orang berharap kami bisa mengalahkan lawan 5-0, 6-0, tetapi itu tak mungkin lagi,” ujar gelandang Nadiem Amiri.
“Sekarang semua tim bagus, semua bisa bertahan. Kami butuh kemenangan demi kemenangan.”
Sistem kualifikasi Eropa yang kini mempertemukan hanya empat tim di setiap grup mempersempit ruang kesalahan. Hanya juara grup yang lolos otomatis ke Piala Dunia 2026, sementara posisi kedua harus melalui fase playoff yang ketat.
Dengan Slovakia unggul di puncak, Jerman tak punya pilihan selain menyapu bersih sisa laga dan berharap lawan terpeleset.
Situasi ini menambah tekanan psikologis pada tim yang belum pulih sepenuhnya dari kegagalan beruntun di Piala Dunia 2018 dan 2022. Dua kali tersingkir di fase grup membuat status Jerman sebagai “mesin turnamen” tercoreng.
Kini, perjalanan menuju 2026 menjadi ujian apakah Nagelsmann mampu membangkitkan kembali identitas sepak bola mereka yang menakutkan.
Sejarah juga menambah beban. Sejak pertama kali tampil di 1934, Jerman hanya absen dua kali, pada 1930, ketika mereka memilih tidak ikut, dan pada 1950, karena larangan pascaperang. Gagal kali ini akan menjadi noda yang tak terhapuskan di dalam buku sejarah mereka.
Nagelsmann menghadapi badai cedera di saat krusial. Kiper utama Marc-Andre ter Stegen masih menepi, bek tangguh Antonio Rudiger absen karena masalah otot, sementara Jamal Musiala, salah satu motor serangan Bayern Munich diperkirakan baru pulih tahun depan.
Kondisi ini memaksa pelatih berusia 38 tahun itu menaruh harapan pada kombinasi pemain muda seperti Florian Wirtz dan Nick Woltemade, meski keduanya belum menemukan konsistensi. Wirtz masih beradaptasi di Liverpool, sedangkan Woltemade terhambat sakit flu ringan saat latihan.
Di lini belakang, perhatian tertuju pada Nathaniel Brown, bek muda Eintracht Frankfurt. Ia disebut sebagai simbol “generasi transisi” Jerman, talenta baru yang diharapkan bisa menambal reputasi tim yang kehilangan arah.
Dalam banyak hal, perjuangan Jerman kali ini bukan hanya soal tiket ke Piala Dunia, melainkan soal mencari kembali jati diri. Dari tim yang dulu menaklukkan dunia di Brasil 2014, kini mereka harus berjuang lebih berat dalam tekanan sejarah.
Laga melawan Luksemburg dan Irlandia Utara akan menjadi barometer, bukan hanya bagi peluang lolos, tapi juga bagi arah baru sepak bola Jerman. Seperti kata Amiri, “Yang penting bukan menang besar, tapi menang terus. Kami butuh kemenangan demi kemenangan.” (*)
