batampos – Korban dalam tragedi Kanjuruhan terus bertambah. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang melansir, jiwa yang melayang dalam peristiwa pasca pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang tadi malam (1/10) mencapai 182 orang.
Jumlah itu luar biasa besar untuk ukuran tragedi di stadion sepak bola. Hanya kalah dari bencana di Estadio Nacional di Lima, Peru yang berlangsung pada 24 Mei 1964. Laga antara Peru melawan Argentina tersebut memakan korban meninggal dunia hingga 328 orang.
Untuk ukuran jumlah, tragedi Kanjuruhan sudah melewati salah satu bencana paling mengerikan di Accra Sports Stadium, Ghana, 9 Mei 2001. Dalam laga antara Accra Hearts melawan Asante tersebut, sebanyak 126 orang meninggal dunia.
Baca Juga: Kerusuhan Pecah Usai Laga Arema vs Persebaya, Puluhan Suporter Tewas
Yang memilukan, dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang terdapat korban yang masih balita. Yakni Gibran Rata Elfano yang masih berusia 2 tahun dan 10 hari. Mendiang Gibran berasal dari Pakisaji, Kabupaten Malang.
Korban meninggal juga banyak yang berusia remaja. Misalnya Audi Nesia Alfiari asal Kedungkandang dan Halkin Al Mizan warga Sumberpucung yang berusia 12 dan 13 tahun.
Dalam konferensi pers dini hari tadi, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengatakan bahwa awal mula terjadinya kerusuhan adalah kekecewaan yang memuncak dari Aremania. Sebab, untuk kali pertama dalam 23 tahun terakhir, Arema dikalahkan Persebaya di Malang dengan skor 2-3.
Rasa kekecewaan yang dalam itulah yang membuat Aremania turun ke tengah lapangan.
Baca Juga: Kompetisi Liga 1 Dihentikan, Pasca Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
Menurut Kapolda, awalnya hanya sedikit yang turun ke lapangan dan mencari pemain dan ofisial Arema. “Mereka bertanya, mengapa bisa kalah melawan Persebaya?” kata Nico.
Setelah itu, polisi melakukan pengamanan kepada pemain dan pencegahan agar aksi kekerasan tidak meluas. Polisi lalu menghalau penonton agar tidak menginvasi lapangan dan mencari para pemain.
Dalam proses penghalauan tersebut, polisi kemudian menembakkan gas air mata. Dari sinilah awal mula terjadinya bencana besar tersebut. Penonton yang panik karena semburan gas air mata berhimpit-himpitan di pintu keluar dan akhirnya banyak yang meninggal karena lemas.
“Itu (penembakan gas air mata, Red) dilakukan karena mereka mulai menyerang petugas dan merusak mobil,” ucap Nico.
Dalam pernyataan resminya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memerintahkan kepada Menteri Pemuda Olahraga, Kapolri, dan Ketua Umum PSSI untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh tentang penyelenggaraan pertandingan sepak bola dan prosedur pengamanannya.
“Khusus kepada Kapolri saya minta untuk melakukan investigasi dan mengusut tuntas kasus ini. Saya juga memerintahkan PSSI untuk menghentikan sementara Liga 1 sampai evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan dilakukan,” kata Jokowi.
“Saya menyesalkan terjadinya tragedi ini. Dan saya berharap ini adalah tragedi sepak bola terakhir sepak bola di tanah air. Jangan sampai ada lagi tragedi kemanusiaan seperti ini lagi di masa depan,” imbuh Jokowi. (*)
Reporter: JPGroup